Ketika Alya pertama kali melangkah di halaman Pesantren, dia terkesima melihat betapa tertata rapi tempat itu. Jalan setapak yang bersih, bunga-bunga yang teratur di sepanjang jalur menuju asrama, dan bangunan pesantren yang tampak modern dengan sentuhan tradisional. Semua terlihat sempurna, mungkin terlalu sempurna untuk pesantren yang terpencil ini. Meskipun begitu, di dalam hatinya, Alya masih merasakan kegelisahan. Dia kini berada jauh dari rumah, dari keluarganya, dengan segudang pertanyaan tentang bagaimana hidup di pesantren ini.
Sesampainya di asrama, Alya disambut oleh dua teman sekamarnya: Rina, seorang gadis yang selalu penuh semangat dengan tawa lepas yang bisa menghidupkan suasana, dan Nadya, yang lebih pendiam, tetapi memiliki tatapan lembut yang menenangkan. Saat mereka bersama-sama menata barang-barang di kamar yang rapi dan wangi, suasana menjadi lebih akrab, meskipun Alya masih menyimpan kegugupan dalam hati.
“Eh, Alya,” kata Rina sambil tertawa kecil, “Pesantren ini bersih banget, ya. Kayak hotel bintang lima! Jangan-jangan ada hantu di bawah kasur yang nyembunyi, soalnya tempatnya terlalu rapi!”
Alya tersenyum mendengar candaan Rina. “Jangan deh, baru juga sampai, udah ditakut-takutin,” jawabnya.
Nadya, yang selama ini diam, menambahkan sambil tersenyum tipis, “Rina memang suka lebay. Tenang aja, di sini bersih kok. Kalau ada hantu pun, mungkin mereka kabur gara-gara kebanyakan bau sabun.”
Rina tertawa terbahak-bahak. “Iya, hantu pasti nggak betah di sini. Bau sabun wangi banget, sampai bikin mereka mual!”
Tawa ketiganya memenuhi kamar yang tadinya terasa sunyi. Meskipun Alya berusaha menikmati percakapan ringan itu, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Pesantren ini memang nyaman, tetapi dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketenangan itu.
Malam pertama Alya di pesantren berjalan lebih lancar dari yang dia bayangkan. Setelah shalat Maghrib berjamaah di masjid besar yang terletak di pusat pesantren, ia dan teman-temannya kembali ke asrama untuk beristirahat. Kamar mereka berada di lantai dua, menghadap halaman pesantren yang tampak damai di bawah sinar bulan. Alya, Rina, dan Nadya duduk di kasur masing-masing, berbincang-bincang tentang pengalaman hari pertama mereka.
“Nadya, kok kamu diem aja dari tadi? Lagi serius mikirin apa?” tanya Rina dengan nada penuh keingintahuan.
Nadya mengangkat bahu. “Tadi aku lihat kamar di ujung lorong, kenapa dikunci terus ya? Kayaknya gak pernah dibuka.”
Rina langsung menanggapi dengan tawa. “Aduh, jangan ngomongin yang serem-serem! Baru juga sehari di sini. Jangan-jangan itu kamar buat santri yang malas hafalan, dikunci sampai hafal Qur’an!” ujarnya sambil bercanda.
Alya ikut tertawa, tetapi perasaan aneh mulai muncul dalam dirinya. Kamar di ujung lorong itu memang mencurigakan, selalu terkunci rapat dan tampak tidak pernah digunakan. Mungkin itu hanya ruangan kosong, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam di balik pintu itu.
Keesokan harinya, rutinitas pesantren dimulai. Alya dan teman-temannya bangun sebelum subuh untuk shalat berjamaah. Usai shalat, mereka berjalan bersama menuju kelas untuk memulai hari hafalan. Sepanjang jalan, Rina terus melontarkan candaan, berusaha membuat suasana lebih ringan.
“Alya, kamu tahu nggak? Nadya tuh kayak ninja, ya. Diam-diam dia muncul terus, bikin kita kaget!” kata Rina sambil terkekeh.
Alya tertawa kecil. “Iya, serem juga kalau tengah malam dia nongol tiba-tiba.”
“Betul! Hantu aja kalah. Nadya kayak hantu yang doyan hafalan, hahahaha!” Rina menambahkan, tertawa dengan penuh semangat.
Di tengah candaan Rina, Alya mulai merasa lebih nyaman. Kehidupan di pesantren ini mungkin tidak akan sesulit yang dia bayangkan. Namun, di balik kehangatan tawa dan rutinitas yang teratur, bayangan kamar terkunci itu terus menghantui pikirannya. Alya tahu, cepat atau lambat, dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di balik pintu itu.