Khutbah sangat berbeda dengan ceramah biasa, Khutbah menjadi Rukun Shalat Jum’at,
Shalat Jum’at tanpa Khutbah, maka Shalat Jum’at Tidak Sah
Dan Khutbaht Jum’at tidak sah apabila rukun Dan Syarat Khutbah Jum’at tidak tepenuhi.
maka menjadi suatu kewajiban para Khotib dan Calon Khotib untuk mengetaui Syarat dan Rukun Khutbah Jum’at
di bawah ini, kami menjelaskan Pengertian, Rukun dan Syarat Khutbah Jum’at
Pengertian
Khutbah secara bahasa, perkataan yang disampaikan di atas mimbar. Khutbah berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk dari kata Mukhathabah yang berarti pembicaraan. Adapula yang mengatakan berasal dari kata Al-Khatbu yang berarti perkara besar yang diperbincangkan, karena orang-orang Arab tidak berkhutbah kecuali pada perkara besar.
Khutbah secara istilah adalah cabang ilmu atau seni berbicara dihadapan orang banyak dengan tujuan meyakinkan dan memengaruhi mereka. Dengan demikian, khutbah harus disampaikan secara lisan dihadapan orang banyak dan harus meyakinkan dengan argument-argumen yang kuat serta memberikan pengaruh kepada pendengar, baik itu berupa motivasi atau peringatan.
Adapun pengertian khutbah jum’at adalah khotbah yang dilakukan sebelum shalat berjamaah dua rakaat pada waktu zuhur di hari jum’at.
Baca juga==>>Khutbah : Persiapan Rohani Menyambut Ramadhan
Rukun-rukun Dua Khotbah Jum’at
- Memuji Allah Di Kedua Khutbah
- Bersholawat Kepada Nabi Muhammad di Kedua Khutbah
- Berwasiat Taqwa Di Kedua Khutbah
- Membaca ayat al-Qur’an di Salah Satu Khutbah Dua Khutbah
- Berdoa Untuk Kaum Muslimin dan Muslimat di Khutbah Terakhir
1. Memuji Allah Di Kedua Khutbah
Rukun khutbah yang pertama adalah memuji Allah didalam khutbah pertama dan kedua. Dalam memuji Allah disyaratkan menggunakan lafadz “الله” dan lafadz “حَمْدُ”.
Jadi, didalam memuji diwajibkan menggunakan lafadz yang bercabang dari lafadz “اَلْحَمْدُ”, seperti “اَلْحَمْدُ للهِ (Segala puji hanya milik Allah)”, atau “أَحْمَدُ الله (Aku memuji Allah)”, atau “أَنَا حَامِدُ الله (Aku adalah orang yang memuji Allah)”, atau “للهِ الْحَمْدُ (Hanya milik Allah lah segala pujian)”. Oleh karena itu, dalam memuji Allah tidak cukup dengan lafadz selain dari cabang lafadz “الحمد”, seperti lafadz “الشكر” dan cabangnya seperti “الشكر لله”.
Karena disyaratkan harus menggunakan lafadz “الله”, maka tidak cukup memuji Allah dengan lafadz, “الحمد للرحمن” atau, “الحمد للخالق” karena didalam lafadz “الله” ketika disandarkan dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya terdapat keunggulan yang sempurna sebab lafadz “الله” memiliki keistimewaan sempurna sendiri. Ini terbukti, ketika seseorang mengucapkan lafad “الله”, dari ucapannya tersebut dapat dipahami sifat-sifat kesempurnaan Allah yang lain, berbeda dengan ketika mengucapkan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang lain.
Contoh Kalimat memuji Allah yang sering di gunakan
……………...الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ
2. Bersholawat Kepada Nabi Muhammad di Kedua Khutbah
Rukun khutbah yang kedua adalah bersholawat kepada Rasulullah SAW di khutbah pertama dan kedua. Dalam bersholawat, disyaratkan harus menggunakan lafadz “الصلاة” dan cabangnya seperti, “الصلاة على محمد”, atau “أصلى على محمد” atau “نصلى على محمد” atau “أنا مصل على محمد”.
Adapun dalam lafadz “محمد”, maka tidak harus menggunakan lafadz tersebut, tetapi dicukupkan juga dengan menggunakan lafadz “أحمد” atau lafadz “النبي الماحى” atau “النبي الحاشر” atau yang lain dari nama-nama Nabi. Maka, tidak cukup kalau semisalnya lafadz “محمد” di dhomirkan meskipun ada marjik (lafadz yang di rujuki) semisal berkata “الضلاة عليه”.
Contoh Shalawat
………….. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سَيِّدِ نَا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
3. Berwasiat Taqwa Di Kedua Khutbah
Maksudnya, rukun khutbah yang ketiga adalah berwasiat atau memerintah bertakwa didalam khutbah pertama dan kedua.
Ziyadi berkata, “Pengertian takwa adalah mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Menurut Ibnu Hajar, dalam berwasiat takwa, khotib dicukupkan dengan memerintah salah satu dari mentaati perintah-perintah Allah atau menjauhi larangan-larangan-Nya. Jadi, ketika khotib berwasiat takwa dengan berkata “Marilah kita mentaati perintah-perintah Allah”, atau ia berkata “Jauhilah larangan-larangan Allah” maka itu sudah cukup.
Adapun menurut Romli, diharuskan disertai dorongan melakukan ketaatan. Dalam berwasiat takwa tidak cukup kalau khotib hanya sekedar menakut-nakuti pendengar dari dunia dan tipu dayanya karena demikian ini juga maklum bagi kaum kafir.
Dalam berwasiat takwa, tidak disyaratkan menggunakan lafadz “الوصية” dan cabangnya, tetapi cukup dengan menggunakan lafadz yang mewakilinya seperti, “أطيعوا الله” (Taatlah kepada Allah).
Alasan mengapa tidak disyaratkan harus menggunakan lafadz “الوصية” dan cabangnya karena tujuan dari berwasiat takwa adalah menasehati dan mendorong para pendengar untuk melakukan ketaatan. Sementara itu, untuk menghasilkan tujuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan lafadz selain dari “الوصية” dan cabangnya.
Contoh yang sering di gunakan
……يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
4. Membaca ayat al-Qur’an di Salah Satu Khutbah Dua Khutbah
Rukun khutbah yang keempat adalah membaca satu ayat al-Qur’an di salah satu dua khutbah karena ittibak, maksudnya, membaca satu ayat yang memahamkan. Karena yang disyaratkan adalah membaca, maka tidak cukup kalau khotib hanya melihat ayat saja tanpa membaca, seperti yang dikatakan oleh Hisni.
Ziyadi berkata, “Satu ayat tersebut adalah ayat yang menunjukkan pengertian janji Allah, atau ancaman-Nya, atau hukum, atau kisah. Cukup juga dengan membaca setengah dari satu ayat yang panjang karena ini lebih utama daripada satu ayat utuh yang pendek. Tidak cukup kalau ayat yang dibaca adalah ayat yang mengandung pengertian memuji Allah atau menasehati para pendengar untuk memuji-Nya, seperti khotib membaca Firman Allah :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang, (QS Al-An’am 1)
Dikarenakan satu perkara tidak bisa digunakan untuk melakukan dua kefarduan (Rukun memuji Allah dan membaca ayat), melainkan hanya dapat digunakan untuk melakukan satu kefarduan. Apabila khotib membaca beberapa ayat yang mencakup semua rukun khutbah selain selain bershalawat kepada Rasulullah dikarenakan tidak ada satu ayat yang mencakup semuanya maka belum mencukupi sebab yang demikian itu belum bisa disebut sebagai khutbah.”
Pernyataan yang berbunyi “membaca satu ayat al-Qur’an disalah satu dua khutbah”, maksudnya yang lebih utama khotib membaca ayat di khutbah pertama agar ayat tersebut menjadi pembanding doa untuk mukminin dan mukminat di khutbah yang kedua. Apabila khotib tidak pandai membaca sedikitpun dari ayat al-Qur’an dan tidak ada orang lain yang pandai membaca al-Quran selainnya, maka khotib mengganti membaca ayat al-Qur’an dengan membaca doa atau dzikir. Apabila khotib juga tidak mampu membaca doa atau dzikir maka ia berdiri saja seukuran lamanya membaca ayat al-Qur’an.
5. Berdoa Untuk Kaum Muslimin dan Muslimat di Khutbah Terakhir
Maksudnya, adalah rukun khotbah yang kelima adalah berdoa dengan doa kebaikan akhirat untuk para mukminin dan mukminat di khutbah yang kedua, baik untuk mereka secara umum atau secara khusus, tetapi yang lebih utama secara umum. Boleh saja jika khotib mendoakan mereka secara khusus, artinya, mereka yang didoakan hanyalah mereka yang mendengar khutbah (para peserta Jumatan) semisal khotib berkata, “رحمكم الله” (Semoga Allah merahmati kalian)’. Dicukupkan khotib berdoa, “اللهم أجرنا من النار” (Ya Allah. Selamatkanlah kami dari neraka.)’, jika ia memaksudkan kata kami dengan para hadirin.
Syarqowi berkata, “Mengikutkan mukminat dalam berdoa hukumnya sunah dan tidak termasuk salah satu rukun sehingga apabila khotib berdoa hanya untuk mukminat (tanpa menyertakan mukminin) maka belum mencukupi, berbeda apabila ia hanya berdoa untuk mukminin maka sudah mencukupi.”
Tidak diperbolehkan berdoa dengan kalimat, “Ya Allah. Ampunilah seluruh dosa dari seluruh kaum muslimin,” karena wajib meyakini bahwa ada sebagian dari mukminin yang akan masuk kedalam neraka meskipun itu hanya satu orang saja, sedangkan kalimat doa tersebut menafikan atau meniadakan keyakinan ini. Berbeda dengan kalimat, “Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa dari seluruh kaum muslimin,” atau, “Ya Allah. Ampunilah seluruh dosa dari kaum muslimin,” yakni, dengan membuang kata “seluruh” di salah satunya, seperti keterangan yang dikatakan oleh Syabromalisi.
Usman Suwaifi berkata, “Dimakruhkan bagi khotib mengangkat kedua tangan saat berkhutbah.”
Contoh yang sering di gunakan
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ
Baca Juga ==> ZAKAT FITRAH : Sejarah, Pengertian, Syarat dan Ketentuannya
Syarat-syarat Dua Khutbah Jumat
- Suci dari dua hadas
- Suci dari Najis
- Menutup Aurat
- Berdiri
- Duduk antara Dua Khutbah
- Muwalah antara Dua Khutbah
- Muwalah antara Dua Khutbah dan Sholat
- Berbahasa Arab
- Khotib Memperdengarkan Dua Khutbah kepada 40 Peserta Jumatan
- Waktu Dzuhur
Suci dari dua hadas
Maksudnya, khotib disyaratkan suci dari hadas kecil dan besar. Apabila ia berhadas di tengah-tengah khutbah maka ia wajib mengulanginya dari awal meskipun ia segera bersuci dan ukuran waktu jeda hanya sebentar karena dua khutbah merupakan satu ibadah secara utuh sehingga tidak bisa diteruskan dengan 2 kali bersuci. Dikecualikan yaitu apabila khotib berhadas di tengah-tengah khutbah, kemudian salah satu dari hadirin menggantikannya sebagai khotib kedua, maka khotib kedua ini tidak perlu mengulangi khutbah dari awal, tetapi ia cukup meneruskan apa yang telah dilakukan oleh khotib pertama.
Suci dari Najis
Maksudnya, syarat dua khutbah Jumat yang kedua adalah bahwa khotib harus suci dari najis di pakaian, tubuh, dan tempat. Begitu juga, sesuatu yang tersambung dengan pakaian, tubuh, dan tempat harus suci dari najis, seperti pedang atau tongkat. Jadi, apabila pedang atau tongkat yang dibawahnya terdapat najis atau yang diletakkan di atas najis, maka khotib tidak boleh menggenggam pedang atau tongkat tersebut.
Menutup Aurat
Maksudnya, syarat dua khutbah Jumat yang ketiga adalah menurut aurat. Perlu diketahui bahwa menutup aurat disini disyaratkan atas khotib, bukan para pendengar khutbah karena mereka tidak disyaratkan menutupnya.
Selain itu, para pendengar khutbah tidak disyaratkan harus suci (dari hadas dan najis). Mereka tidak disyaratkan harus berada di tempat sholat saat khotib berkhutbah. Mereka tidak disyaratkan harus paham atas khutbah yang mereka dengar. Demikian ini dikutip oleh Ziyadi dari Ibnu Hajar.
Berdiri
Syarat dua khutbah Jumat yang keempat adalah berdiri bagi khotib yang mampu. Rofii berkata, “Sesungguhnya para ulama menyebut berdiri dalam pembahasan dua khutbah Jumat sebagai syarat dan dalam sholat sebagai rukun.”
Imam Haromain berkata, “Tidak ada larangan menyebut berdiri sebagai rukun di satu tempat dan sebagai syarat di tempat lain.”
Duduk antara Dua Khutbah
Syarat dua khutbah Jumat yang kelima adalah bahwa khotib duduk di antara dua khutbah dengan duduk yang melebihi tumakninah dalam sholat. Pengertian pernyataan duduk yang melebihi tumakninah dalam sholat adalah irtiqok dan wushul, artinya, khotib sampai pada posisi duduk di antara dua khutbah hingga seukuran lamanya tumakninah dalam sholat.
Muwalah antara Dua Khutbah
Syarat dua khutbah Jumat yang keenam adalah muwalah (berturut-turut/berkesinambungan) antara dua khutbah.
Muwalah antara Dua Khutbah dan Sholat
Maksudnya, syarat dua khutbah yang ketujuh adalah muwalah (berturut-turut) antara dua khutbah dan sholat. Selain itu, disyaratkan juga muwalah di antara rukun-rukun dua khutbah. Pengertian muwalah disini adalah sekira khotib tidak memisah di tiga tempat ini dengan selang waktu yang lama.
Berbahasa Arab
Syarat khutbah Jumat yang kesembilan adalah bahwa Rukun dua khutbah Jumat di atas harus disampaikan khotib dengan menggunakan Bahasa Arab meskipun peserta Jumatan bukan kaum yang berbahasa Arab yang tidak memahami khutbah yang disampaikan. Ini dikarenakan oleh keadaan bahwa mereka tahu kalau khotib sedang menasehati mereka secara global, maksudnya selain dalam contoh ini. Jadi, patokan hukum disini terbatas pada rasa tahu dari para peserta Jumatan yang berdasarkan qorinah atau indikator bahwa khotib sedang menasehati mereka meskipun mereka tidak mengetahui nasehat apa yang disampaikan kepada mereka. adapun jika ingin menambah Khutbah menggunakan Bahasa Indonsia itu tidak masalah.
Khotib Memperdengarkan Dua Khutbah kepada 40 Peserta Jumatan
Maksudnya, khotib harus memperdengarkan dua khutbahnya kepada 40 peserta Jumatan, yaitu para peserta yang dengan mereka, sholat Jumat dihukumi menjadi sah.
Termasuk dari mereka adalah imam, artinya, apabila khotib yang juga berperan sebagai imam terhitung termasuk 40 maka khotib tersebut wajib memperdengarkan khutbah-nya kepada dirinya sendiri secara nyata, sekiranya ia mengeraskan suaranya sampai para peserta lain dapat mendengarnya. Adapun mendengar yang dialami oleh para peserta tidak diwajibkan secara nyata-nyata mendengar, tetapi hanya secara quwwah, yakni sekiranya apabila mereka mau fokus maka mereka dapat mendengar. Oleh karena ini, apabila ada keramaian
yang mencegah mereka dari mendengar khutbah maka tidak membatalkan khutbah. Berbeda dengan tuli, jauh, tidur berat, meskipun hanya dialami oleh sebagian dari 40 peserta maka khutbah dihukumi tidak sah. Adapun ngantuk, maka tidak membatalkan khutbah.
Waktu Dzuhur
Maksudnya, semua dua khutbah harus terjadi di waktu Dzuhur karena ittibak. Selain syarat-syarat dua khutbah Jumat yang telah disebutkan, masih ada syarat tambahan, yaitu:
- Khotib adalah laki-laki tulen.
- Dua khutbah dilakukan di tempat yang masih termasuk dalam garis batas kota/desa.
- Dua khutbah dilakukan sebelum melaksanakan 2 rakaat sholat.
- Khotib dapat membedakan manakah yang fardhu dalam dua khutbah dan manakah yang sunah di dalamnya, sebagaimana ini juga disyaratkan dalam sholat.
Adapun tertib dalam rukun-rukun dua khutbah tidak termasuk syarat, tetapi hanya sebatas kesunahan.
Sumber : Kitab Kasifatus saja